Senin, 12 Mei 2008

Perkataan yang Melukai

Usai memberikan kesaksian di hadapan sekelompok wanita pengusaha, saya pergi ke toilet. Di sana seorang wanita menghampiri saya seraya berkata, “Anda ingat saya?”. Saya menatapnya, tetapi wajahnya tampak asing bagi saya. Belum sempat saya berbicara, ia sudah melanjutkan perkataannya, “Lima tahun yang lalu, Anda menulis surat yang sangat kasar kepada saya. Surat itu sangat melukai saya dan saya menyimpannya selama bertahun-tahun dengan harapan suatu hari saya akan bertemu lagi dengan Anda.”

Wajah saya memerah seperti kepiting yang baru saja direbus, hati saya diselimuti oleh rasa malu sekaligus bingung, kenapa wanita yang tidak saya kenal ini menegor begitu keras.

“Saya memiliki toko barang antik. Waktu itu setelah berbelanja di toko saya. Anda menulis surat yang mengeluhkan sikap saya yang kasar,” katanya lebih lanjut.

Perkataannya itu terus saja mengusik damai sejahtera di hati, tetapi saya mencoba untuk tenang. “Saya sangat menyesal karena telah menyakiti Anda. Maukah Anda memaafkan saya?” kata saya sambil memegang tangannya, namun wanita itu segera menarik tangannya dan melangkah pergi tanpa pernah menoleh ke belakang.

Kejadian itu tentu saja menggusarkan hati saya. Di pikiran saya terjadi peperangan, “Mengapa saya membiarkan kata-kata saya melukai seseorang, sehingga orang itu mengingatnya selama lima tahun? Parahnya, saya bahkan tidak dapat mengingat kejadian itu.”

Saya menangis, mohon pengampunan dari Tuhan. Saya mencoba mengingat wanita itu dengan membaca buku harian saya, dan saya menemukan catatan tentang kejadian itu.

Waktu itu wanita tersebut dengan keras menegor teman yang berbelanja bersama saya, ketika teman saya menyenggol vas antik. Ia mempermalukan kami di depan orang banyak sehingga dengan emosi yang tinggi saya melayangkan surat kepadanya.

Menurut saya waktu itu, keputusan untuk mengirim surat merupakan tindakan yang tepat, karena saya ingin membuatnya merasa bersalah dan kemudian berubah setelah menyesalinya. Ternyata saya salah besar, tindakan saya justru telah menggoreskan luka yang dalam di hatinya. Yang saya harapkan perubahan, ternyata yang tergores adalah kepahitan. Hari itu saya memperoleh pelajaran yang sangat berharga, tindakan menyerang sesama berarti sedang membangun sebuah tembok kebencian dan permusuhan.

Memang emosi kerap membuat kita tidak berpikir panjang sehingga kita berlaku kasar atau melemparkan kata-kata yang pedas. Itu kita lakukan sebagai bentuk pembalasan karena merasa bahwa kita sudah dilukai, atau kita berpikir bahwa kita akan memperoleh kepuasan tersendiri setelah menyalurkan emosi yang terbendung di dalam hati.

Kita menyadari bahwa dilukai itu menyakitkan, tapi kita justru sering berbalik melukai sesama. Karena itu ketika sedang di rumah, kantor, pelayanan, atau di mana saja, baiklah kita berpikir dulu baru berbicara. Berhati-hatilah dengan perkataan kita, karena perkataan kita selaku anak Tuhan seharusnya menjadi jembatan sehingga orang membuka dirinya untuk diarahkan kepada pembaharuan budi.

Matius 7: 1 – 2: Jangan menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.

Roma 2: 1 – 3: Karena itu, hai manusia, siapapun juga engkau, yang menghakimi orang lain, engkau sendiri tidak bebas dari salah. Sebab, dalam menghakimi orang lain, engkau menghakimi dirimu sendiri, karena engkau yang menghakimi orang lain, melakukan hal-hal yang sama.

Tetapi kita tahu, bahwa hukuman Allah berlangsung secara jujur atas mereka yang berbuat demikian.

Dan engkau, hai manusia, engkau yang menghakimi mereka yang berbuat demikian, sedangkan engkau sendiri melakukannya juga, adakah engkau sangka, bahwa engkau akan luput dari hukuman Allah?

Tidak ada komentar:

Louis7zen

Name :
Web URL :
Message :